Anak adalah investasi, adalah ladang amal. Segala yang terbentuk padanya adalah tanggung jawab pendidiknya. Jika bentukannya baik, baik pula hasil yang akan kembali untuk pendidik itu. Begitu pun sebaliknya.
Di siang yang gerah itu, di dalam sebuah kereta rel listrik kelas ekonomi tujuan Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, seorang bocah berusia sekitar tiga tahun sedang merengek ke bapaknya. Mungkin dia kepanasan, sementara kereta masih berhenti dan tak kunjung jalan lagi. Bapaknya saat itu hanya berkata, “Keretanya masih macet, bannya kempes, masih dipompa dulu.” Bocah itu memang sempat diam, sambil melongok ke luar, mungkin mencari ban kempes yang dimaksud bapaknya. Dia ternyata percaya betul ucapan bapaknya.
Dalam kesempatan berikutnya, muncul bocah-bocah lain dengan kejanggalan yang berbeda. Agak berbeda dengan bocah yang dipangku oleh bapaknya tadi, bocah-bocah lain itu lebih dewasa, mungkin umurnya sudah sekitar 11 tahun, jauh lebih dekil, tanpa alas kaki, rambut merah karena dicat, kulit legam, baju pun sepertinya sudah berbulan-bulan tak pernah diganti atau dicuci. Dari mereka itu ada yang hanya menengadahkan tangan, ada yang menyapu lantai kereta, ada yang menyemprotkan parfum tak jelas ke bawah bangku penumpang, ada juga yang hanya duduk-duduk di bawah.
Orang biasa yang menjalani hidup normal—tiap hari tidur di kasur rumah, membaca koran atau berinteraksi dengan banyak orang tentang segala sesuatu yang menambah ilmu—bisa jadi ada yang merasa risih dan tak akan mau berlama-lama melihat bocah-bocah yang tak sedap dipandang itu. Ada pula yang merasa iba, sekaligus tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, ada juga yang memilih merem setiap mereka mendekat lalu melek lagi setelah mereka berpindah tempat.
Orang-orang atau penumpang-penumpang itu bisa seperti itu karena mereka punya banyak pilihan. Mau cuek, iba, atau risih, sah saja. Nah, bagaimana dengan anak-anak itu? Mereka tidak punya banyak pilihan. Mereka harus menembus bising dan sumpek kereta kalau mau dapat uang alias recehan. Lalu, apakah bocah-bocah itu juga peduli dengan kerisihan dan ketidakacuhan penumpang yang dia mintai uang? Tidak. Mereka tak peduli. Yang penting mereka dapat uang—entah untuk beli rokok, nge-cat rambut, atau disetor ke preman. Yang penting mereka merasa bebas, bisa tertawa senang dengan sesamanya. Mereka pun tak peduli walau sering kali harus tidur di anak tangga stasiun.
Sesuai Contoh
Anak-anak tumbuh mengikuti apa yang dilihat, didengar, dialaminya, termasuk bocah-bocah di kereta tadi. Di usia yang masih begitu dini, mereka sudah harus menyelami kehidupan yang begitu keras. Bayangkan, beda keadaan mereka dengan anak-anak lain, anak-anak gedongan yang dileskan ke sana ke mari, sampai yang oleh orang tuanya sudah dipegangi Blackberry. Bagaimana bocah-bocah yang lebih malang itu dibiarkan hidup di jalanan?
Sekali lagi, anak belajar dari contoh. Anak-anak kereta yang memiliki watak keras dan menguasai kosakata yang umumnya kasar tadi tak akan demikian jika tak mendapat contoh tersebut dari lingkungannya. Kalau mereka tidak mendapat contoh yang selayaknya, sampai mana kita bisa berharap bahwa mereka akan terbentuk sebaik-baiknya?
Kalau merujuk pada undang-undang, keadaan demikian bisa dikatakan mengandung pelanggaran atas hak-hak anak. Undang-undang Nomor 4 tahun 1979, misalnya. Di sini dimuat bahwa sesungguhnya anak-anak memiliki hak untuk merasakan hidup sejahtera. Pasal 2 ayat (1) sampai (4) undang-undang ini berbunyi sebagai berikut:
(1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
(2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.
(3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
(4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
Mana di antara hak-hak itu yang sudah didapat oleh anak-anak kereta itu?
Pendidikan
Mengacu pada bunyi tersebut, rasanya masih jauh jarak antara yang dicita-citakan dengan yang nyata di lapangan, yang salah satu contoh kecilnya adalah yang nyata-nyata dijalani oleh anak-anak kereta tadi. Mungkin, definisi sejahtera bagi mereka tak perlu tinggi-tinggi. Bukan tinggal di rumah mewah ber-AC dengan fasilitas games lengkap. Bukan juga punya punya gadgets canggih dalam jumlah banyak.
Mereka butuh jaminan untuk menjalani kehidupan wajar seperti layaknya anak-anak seusianya. Mereka butuh jaminan bahwa tidak hanya anak-anak dari keluarga mampu yang diperhatikan oleh negara, tetapi mereka juga mendapat perlakuan yang sama rata. Dan yang paling penting, mereka butuh keyakinan bahwa mereka perlu pendidikan, pun sebaliknya, pendidikan merupakan sesuatu yang mereka perlukan. Pendidikanlah, sesuai kata Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina Jakarta, yang menjadi ekskalator taraf kehidupan. Pendidikan yang bisa membuat generasi level menengah di hari ini akan terangkat ke level lebih atas di hari mendatang. Tanggung jawab siapa? Tentunya semuanya, segenap elemen masyarakat.
Pada akhirnya, sebuah solusi tegas tidak akan menjadi penutup tulisan ini. Hanya bermaksud untuk mengajak merenungkan, tentang kehidupan anak-anak kereta, tentang kesamaan hak mereka dengan hak anak-anak lainnya, hingga tentang anak-anak yang punya hak untuk hidup tenteram. Mungkin, juga mengimbau, bujuklah anak-anak dengan sesuatu yang jujur, bukan dengan kebohongan semacam “Keretanya masih macet, bannya kempes.” Sederhana mungkin, tapi dihindari juga mungkin, kan?
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar