Saturday, July 31, 2010

Sahabat Sejati, Hanya yang Berdimensi Ukhrawi

Temanmu adalah yang membuatmu menangis karena nasehat, bukan yang membuatmu tertawa disebabkan lelucon


Hidayatullah.com— “Seribu teman masih terlalu sedikit, sedangkan satu musuh sudah terlalu banyak," demikian seharusnya perilaku sosial orang dalam masyarat.


Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup dengan kesendiriannya. Mereka membutuhkan orang lain sebagai kawan, sahabat untuk saling melengkapi, membantu antar satu sama lain yang bisa menjalin persahatan hingga akhir. Istilahnya, teman bisa dicari dalam sehari namun persahabatan tak cukup dibangun hanya seribu waktu dan sejuta masa.


Ungkapan-ungkapan bijak ini bukanlah suatu yang mengada-ngada. Tapi memang, itulah kenyataannya. Seseorang akan sangat terbantu masalahnya, manakala ia memiliki banyak kawan. Misal, ketika ia membutuhkan pekerjaan, maka, dengan mudahnya ia bisa meminta pertolongan melalui teman-temannya untuk memberi informasi ketika lowongan itu ada. Ketika satu tempat gagal, ia akan menghubungi sahabatnya yang berada di lokasi lain. Begitu seterusnya, hingga ia memperoleh apa yang ia butuhkan. Ini masih seputar permasalahan ekonomi, belum merambat ke permasalah lain, seperti curhat, konsultasi, dan lain sebagainya. Sahabat sangat berperan penting untuk mencairkan permasalahan-permasalahan tersebut.



Sebaliknya, ketika seseorang memiliki musuh, dunia akan terasa sangat sempit, karena setiap kali kita melangkahkan kaki ke luar rumah, kita selalu merasa dihantui oleh rasa takut, khawatir akan bahaya ancaman musuh yang setiap saat bisa menghampiri. Dunia seluas inipun akan terasa tak seubahnya daun kelor, kecil lagi sempit. Itulah perbedaan antara memiliki teman dan musuh.



Sekalipun demikian kian, kitapun harus selektif dalam memilih teman, sebab, bukan mustahil sahabat yang kita anggap bisa membawa rahmat, justru menimbulkan mafsadat. Karena pada realitasnya, banyak orang yang 'mencuri' perilaku buruk dari teman karibnya. Yang menjadi masalah, kebanyakan mereka tidak menyadari sama sekali akan hal itu. Ingatlah akan warning Rosulullah yang menyatakan bahwa dalam hal bergaul dengan orang lain, kita tak ubahnya mendekati dua orang. Yang pertama, pandai besi, dan yang kedua penjual minyak wangi.



Ketika kita berakrab-akrab dengan pandai besi, sedikit demi sedikit kita akan terkena panasnya percikan api yang keluar dari besi. Sebaliknya, ketika kita berdekat-dekat dengan penjual wewangian, secara spontanitas, kitapun akan mendapatkan aroma harumnya juga. Begitu pula perihalnya dalam memilih sahabat. Karena itu, kita harus berhati-hati.



Teman Baik


Memiliki teman baik adalah impian semua orang. Tak satupun manusia sudi memiliki sahabat yang rela 'memakan' sahabatnya sendiri. Namun, kenyataannya tidak jarang orang salah kaprah dalam memaknai teman baik.


Ada sebagian mereka yang berpendapat bahwa teman baik itu adalah teman yang seia-sekata. Artinya, siap membantu dan mendukung dalam segala hal. Adalagi yang mendefinisikan, bahwa teman baik adalah teman yang setia dalam suka maupun duka.



Apapun definisi yang digunakan dalam memaknai teman baik, itu sah-sah saja, karena setiap orang pasti memiliki alasan tertentu mengapa ia memiliki pemahaman yang demikian. Namun, sebagai muslim, kita harus memiliki pemahaman yang pas, yang sejalan dengan ajaran Islam, sebab, tidak semua pengertian mengenai teman baik, itu sebanding lurus dengan ajaran agama ini.



Islam memiliki 'rambu-rambu' yang jelas dalam memaknai teman baik dan buruk. Sebab itu, belum tentu teman yang katanya seia dan sekata itu teman yang baik menurut pandangan Islam, karena, terlebih dahulu akan ditinjau, dalam hal apa mereka menerapkan definisi ini. Ketika mereka menegakkannya dalam hal amar ma'ruf nahi munkar, maka Islam membenarkannya. Tetapi, ketika hal itu dalam masalah kekufuran dan kejahatan, tentu hal ini tidak dibenarkan.



'Firman Allah,
“Dan saling membantulah kalian dalam hal kebaikkan, dan janganlah kalian saling membantu dalam hal keburukkan. “ (Al-Ma'idah: 2).


Karenanya, jangan sampai kita terkecoh, dengan alasan teman akrab, kitapun rela membantu teman kita, sekalipun dalam kejelekkan. Sekiranya itu terjadi, sejatinya kita telah berbuat kedzaliman pada teman, orang lain, dan pastinya, terhadap diri kita sendiri, “man a'annaka 'ala syarri dzalamaka” (barang siapa yang telah membantumu dalam hal keburukkan, maka sesungguhnya dia telah mendzalimu). Dampaknya, kita akan kebagian ‘bunga' dosa, sebagai buah atas keikutsertaan kita dalam mensukseskan misi jahat tersebut.



Hal ini berdasar pada hadits Nabi yang berbunyi,
“Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikkan maka ia akan mendapatkan ganjaran setimpal dengan apa yang dilakukan oleh si pelaku”.


Mafhum mukhalafah dari hadits ini, mereka yang membantu kejelekkan, pun akan mendapatkan balasan yang setimpal.


Dan yang lebih penting lagi, teman dalam perspektis Islam, tidak hanya terbatas di dunia semata. Namun, Ia mencakup dimensi akhirat. Persahabatan yang baik, yang mengharap ridha Allah, akan mengundang syafaat Allah di hari kiamat kelak.



Ini sebagaimana sabda Rosul yang menjelaskan bahwa kelak di akhirat akan ada beberapa kelompok manusia yang akan mendapat naungan Allah dimana pada saat itu tidak ada naungan selain naungan-Nya, dan salah satu diantara mereka adalah orang-orang yang bersahabat dan berpisah karena Allah.



Sebaliknya, persahabatan yang mengundang murka Allah, kelak, pada hari kiamat, justru akan menjadi sebab permusuhan mereka di akhirat, sekalipun mereka di dunia sangat kompak/setia, bagai kancing dan baju, kata orang. Mereka akan saling menyalahkan satu sama lain, saling menghujat, dan menuntut.



Firman Allah,
“Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa.” (Az-Zuhruf: 67)


Dalam surat Al-Furqan, Allah juga berfirman, “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang dzalim menggigit dua jarinya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, “Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rosul (27) wahai! Celaka aku! Sekiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku.” (Al-Furqan: 27-28).


Lalu, bagaimanakah profil teman baik itu, yang kelak, di akhiratpun akan tetap menjadi sahabat karib kita?



Dalam Al-Quran, Allah telah menggambarkan dengan gamblangnya sosok-sosok yang patut kita dekati sebagai teman dekat. Allah juga telah menjamin, bahwa hanya merekalah orang-orang yang baik untuk dijadikan teman.


Firman-Nya, “Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rosul-Nya (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (Al-An'am: 69)


Bukti konkrit akan kebenaran mereka sebagai pribadi-pribadi yang sholeh, tercermin pada perilaku mereka yang senantiasa menyeru manusia kepada kebaikkan dan mencegah dari kemungkaran. Dan ciri itu pula yang melekat pada sosok teman yang baik itu,
“Khaorul ash-haabi man yadulluka 'alal khairi” (Sebaik-baik teman adalah yang menunjukkanmu kepada kebaikan). Sahabat yang mengingatkan kita kepada kebaikan ketika kita lalai, mencegah kita untuk berbuat keji ketika kita terbawa arus ke sana, adalah hakekat teman sejati itu. Dan sungguh bukan termasuk sahabat yang membawa rahmat, bila sahabat kita tersebut ikut bergembira, tertawa merayakan kesuksesan kita dalam menjalankan kemaksiatan, “Shadiquka man abkaka laa man adh-hakaka” (Temanmu adalah yang membuatmu menangis -karena nasehat- bukan yang membuatmu tertawa -disebabkan lelucon-).


Akhirnya, kita berdo'a kepada Allah, semoga Dia senantiasa mempertemukan kita dengan para sahabat, yang mereka senantiasa mengajak kita mendekatkan diri kepada Allah, sehingga persahabatan kita pun dinaungi rahmat-Nya, yang kemudian menghantarkan kita termasuk orang-orang yang mendapatkan naungan pada hari dimana tidak ada naungan, selain naungan-Nya. [
Robin S/hidayatullah.com]

Friday, July 23, 2010

Renungan Anak-Anak Kereta


Anak adalah investasi, adalah ladang amal. Segala yang terbentuk padanya adalah tanggung jawab pendidiknya. Jika bentukannya baik, baik pula hasil yang akan kembali untuk pendidik itu. Begitu pun sebaliknya.

Di siang yang gerah itu, di dalam sebuah kereta rel listrik kelas ekonomi tujuan Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, seorang bocah berusia sekitar tiga tahun sedang merengek ke bapaknya. Mungkin dia kepanasan, sementara kereta masih berhenti dan tak kunjung jalan lagi. Bapaknya saat itu hanya berkata, “Keretanya masih macet, bannya kempes, masih dipompa dulu.” Bocah itu memang sempat diam, sambil melongok ke luar, mungkin mencari ban kempes yang dimaksud bapaknya. Dia ternyata percaya betul ucapan bapaknya.

Dalam kesempatan berikutnya, muncul bocah-bocah lain dengan kejanggalan yang berbeda. Agak berbeda dengan bocah yang dipangku oleh bapaknya tadi, bocah-bocah lain itu lebih dewasa, mungkin umurnya sudah sekitar 11 tahun, jauh lebih dekil, tanpa alas kaki, rambut merah karena dicat, kulit legam, baju pun sepertinya sudah berbulan-bulan tak pernah diganti atau dicuci. Dari mereka itu ada yang hanya menengadahkan tangan, ada yang menyapu lantai kereta, ada yang menyemprotkan parfum tak jelas ke bawah bangku penumpang, ada juga yang hanya duduk-duduk di bawah.

Orang biasa yang menjalani hidup normal—tiap hari tidur di kasur rumah, membaca koran atau berinteraksi dengan banyak orang tentang segala sesuatu yang menambah ilmu—bisa jadi ada yang merasa risih dan tak akan mau berlama-lama melihat bocah-bocah yang tak sedap dipandang itu. Ada pula yang merasa iba, sekaligus tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, ada juga yang memilih merem setiap mereka mendekat lalu melek lagi setelah mereka berpindah tempat.

Orang-orang atau penumpang-penumpang itu bisa seperti itu karena mereka punya banyak pilihan. Mau cuek, iba, atau risih, sah saja. Nah, bagaimana dengan anak-anak itu? Mereka tidak punya banyak pilihan. Mereka harus menembus bising dan sumpek kereta kalau mau dapat uang alias recehan. Lalu, apakah bocah-bocah itu juga peduli dengan kerisihan dan ketidakacuhan penumpang yang dia mintai uang? Tidak. Mereka tak peduli. Yang penting mereka dapat uang—entah untuk beli rokok, nge-cat rambut, atau disetor ke preman. Yang penting mereka merasa bebas, bisa tertawa senang dengan sesamanya. Mereka pun tak peduli walau sering kali harus tidur di anak tangga stasiun.

Sesuai Contoh

Anak-anak tumbuh mengikuti apa yang dilihat, didengar, dialaminya, termasuk bocah-bocah di kereta tadi. Di usia yang masih begitu dini, mereka sudah harus menyelami kehidupan yang begitu keras. Bayangkan, beda keadaan mereka dengan anak-anak lain, anak-anak gedongan yang dileskan ke sana ke mari, sampai yang oleh orang tuanya sudah dipegangi Blackberry. Bagaimana bocah-bocah yang lebih malang itu dibiarkan hidup di jalanan?

Sekali lagi, anak belajar dari contoh. Anak-anak kereta yang memiliki watak keras dan menguasai kosakata yang umumnya kasar tadi tak akan demikian jika tak mendapat contoh tersebut dari lingkungannya. Kalau mereka tidak mendapat contoh yang selayaknya, sampai mana kita bisa berharap bahwa mereka akan terbentuk sebaik-baiknya?

Kalau merujuk pada undang-undang, keadaan demikian bisa dikatakan mengandung pelanggaran atas hak-hak anak. Undang-undang Nomor 4 tahun 1979, misalnya. Di sini dimuat bahwa sesungguhnya anak-anak memiliki hak untuk merasakan hidup sejahtera. Pasal 2 ayat (1) sampai (4) undang-undang ini berbunyi sebagai berikut:

(1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
(2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.
(3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
(4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

Mana di antara hak-hak itu yang sudah didapat oleh anak-anak kereta itu?


Pendidikan

Mengacu pada bunyi tersebut, rasanya masih jauh jarak antara yang dicita-citakan dengan yang nyata di lapangan, yang salah satu contoh kecilnya adalah yang nyata-nyata dijalani oleh anak-anak kereta tadi. Mungkin, definisi sejahtera bagi mereka tak perlu tinggi-tinggi. Bukan tinggal di rumah mewah ber-AC dengan fasilitas games lengkap. Bukan juga punya punya gadgets canggih dalam jumlah banyak.

Mereka butuh jaminan untuk menjalani kehidupan wajar seperti layaknya anak-anak seusianya. Mereka butuh jaminan bahwa tidak hanya anak-anak dari keluarga mampu yang diperhatikan oleh negara, tetapi mereka juga mendapat perlakuan yang sama rata. Dan yang paling penting, mereka butuh keyakinan bahwa mereka perlu pendidikan, pun sebaliknya, pendidikan merupakan sesuatu yang mereka perlukan. Pendidikanlah, sesuai kata Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina Jakarta, yang menjadi ekskalator taraf kehidupan. Pendidikan yang bisa membuat generasi level menengah di hari ini akan terangkat ke level lebih atas di hari mendatang. Tanggung jawab siapa? Tentunya semuanya, segenap elemen masyarakat.

Pada akhirnya, sebuah solusi tegas tidak akan menjadi penutup tulisan ini. Hanya bermaksud untuk mengajak merenungkan, tentang kehidupan anak-anak kereta, tentang kesamaan hak mereka dengan hak anak-anak lainnya, hingga tentang anak-anak yang punya hak untuk hidup tenteram. Mungkin, juga mengimbau, bujuklah anak-anak dengan sesuatu yang jujur, bukan dengan kebohongan semacam “Keretanya masih macet, bannya kempes.” Sederhana mungkin, tapi dihindari juga mungkin, kan?

Kini, selamat Hari Anak Nasional 2010. Mari jadikan ini titik untuk lebih bersemangat lagi, menjadikan anak Indonesia—seluruhnya dan seutuhnya—generasi yang jujur, berakhlak mulia, sehat, cerdas, dan berprestasi. Semoga. (AGT)

Thursday, July 22, 2010

Keluarga Berencana : Bagaimana Mengatur Keseimbangan Hidup


Tanggal 29 Juni lalu, diperingati sebuah hari penting yang menyangkut kehidupan manusia banyak, yaitu hari KB Nasional. Indonesia telah lama mengenal salah satu upaya mengurangi masalah-masalah kependudukan ini. Dengan jumlah penduduk yang melebihi 200 juta jiwa, KB dijadikan sebagai ujung tombak untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk melalui kampanye-kampanye pembatasan jumlah kelahiran dan berbagai perangkat kontrasepsi. KB pun semakin populer di masyarakat dan Indonesia dianggap berhasil menjalankan program ini. Nah, sekarang, bagaimana sebenarnya pandangan agama terhadap hal ini?

Kebijaksanaan kependudukan merupakan suatu persoalan yang menyentuh seluruh bangsa. Berbicara menyangkut masalah kependudukan ini, atau lebih khusus lagi menyangkut masalah Keluarga Berencana (KB), seringkali ada semacam tuntutan dari umat, untuk memperoleh ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi saw. yang berbicara secara tegas tentang persoalan yang dimaksud. Sampai-sampai ada ulama yang mencari-cari ayat Al-Qur’an –dengan susah payah- kemudian memaksakan penafsirannya di luar konteks tersebut serta membebaninya dengan makna-makna di luar maksud yang dikandungnya.

Hal ini menimbulkan terjadinya semacam perkosaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Tuntutan tersebut lahir dari asumsi yang keliru, yang menyatakan bahwa “Al-Quran mengupas dan menyinggung segala macam persoalan yang dihadapi oleh umat manusia.”

Para pengabul tuntutan tersebut lupa bahwa prinsip-prinsip pokok agama serta jiwa dari ayat Al-Quran dan hadis dapat dijadikan landasan berpikir serta argumentasi keagamaan guna menjawab semua persoalan yang dihadapi oleh umat manusia, bukannya dengan menggunakan ayat yang tidak pada tempatnya.

Ambillah contoh menyangkut kebijaksanaan kependudukan. Di sini kita cukup memperhatikan bagaimana Allah SWT mengelola alam raya ini dengan penuh keteraturan, keseimbangan, keserasian, dan perhitungan yang sangat teliti. Yang demikian itu merupakan ciri segala sesuatu dari unit yang terkecil di alam raya ini sampai dengan yang terbesar, dan yang demikian itu pula yang diharapkan dari umat manusia dalam segala usahanya.

Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan yang sangat teliti. Tumbuh-tumbuhan dan poho-pohonan tunduk kepada-Nya. Dia meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca perimbangan supaya kamu tidak melampaui batas neraca itu. (QS 55 : 5-8).

Banyak sekali ajaran agama yang pelaksanaannya didasarkan atas perhitungan yang sangat teliti dan dilaksanakan dengan seimbang. Shalat, zakat, puasa, dan haji adalah contoh-contoh yang sangat jelas.

Sangat tercela jika kemampuan material seseorang atau kapasitas ruangan yang tersedia hanya untuk sepuluh orang, misalnya, kemudian mengundang lima belas orang. Tindakan tersebut tercela karena mengabaikan faktor keseimbangan.

Pengaturan dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga dituntut oleh ajaran Islam. Hal tersebut lahir dari rasa cinta terhadap anak keturunan dan tanggung jawab terhadap generasi. Bukankah Al-Quran menamakan anak sebagai “buah hati yang menyejukkan” (QS 25:74), serta “hiasan kehidupan dunia” (QS 18 : 46)? Bagaimana mungkin mereka menjadi “buah hati” dan “hiasan hidup” jika beban yang dipikul orang tuanya melebihi kemampuannya? Bukankah kita dianjurkan untuk berdoa Ya Tuhan kami, janganlah bebani kami dengan apa yang tak mampu kami pikul.(QS 2 : 286)

Demikian saya memahami pandangan Al-Quran tentang kependudukan dan KB, dan tidak dengan menafsirkan satu ayat untuk mendukung ide yang baik tersebut.

Sumber : Buku lentera hati karya M. Quraish Shihab.

Sunday, July 4, 2010

"Setelah Masuk Islam, Saya Merasa Lebih Terbebaskan sebagai Perempuan"

WBagi Sarah Thompson, pindah agama bukanlah persoalan yang mudah karena banyak hal-hal baru yang harus ia pelajari Bagi kebanyakan perempuan non-Muslim yang memutuskan menjadi seorang muslim, persoalan yang paling rumit adalah bagaimana memberitahukan keislaman mereka pada keluarga dan orang-orang tercinta.

Tapi Sarah bersyukur, ia tidak mengalami kerumitan itu saat mengumumkan bahwa dirinya telah menjadi seorang muslimah pada keluarganya. "Saya merasa benar-benar mendapat berkah karena reaksi keluarga saya lebih baik dibandingkan reaksi keluarga lainnya dari cerita yang pernah saya dengar," ungkapnya.

Sarah Thompson yang lahir dan dibesarkan di Noblesville, Indiana tumbuh di tengah keluarga yang mengklaim sebagai penganut Kristen. Namun Sarah selalu merasa ada sesuatu yang hilang dalam kehidupannya. Ia lalu mulai mempelajari dan memperdalam agama Islam.

"Saya seperti menemukan rumah bagi rohani saya," ujarnya tentang Islam

Sarah akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat pada tahun 2008 setelah selama enam bulan mempelajari agama Islam. Ketika ia memberitahu ibunya bahwa ia kini seorang muslimah, sang ibu hanya berkomentar, "Oke, tak mengapa, apa yang bisa saya lakukan?" Ibu Sarah lalu berlalu dan kembali dengan membawakannya beberapa kerudung penutup kepala.

Tapi tidak semua orang bersikap seperti ibunya. Beberapa kerabat Sarah, bahkan ayah kandung dan ayah tirinya sulit menerima keputusan Sarah menjadi seorang muslim. Namun kebanyakan teman Sarah memberikan dukungan, meski mereka kadang berpikir bahwa dirinya sudah gila karena memilih menjadi penganut agama Islam. Apalagi selama ini Sarah dikenal sebagai seorang feminis yang fanatik.

"Saya selalu menjadi seorang feminis yang fanatik, maka ketika sahabat-sahabat saya berpikir bahwa saya sudah gila, itu artinya mereka serius mengatakan itu. Tapi pengetahuan mereka tentang Islam sangat terbatas. Mereka melihat seorang perempuan yang berjilbab dan mengenakan cadar adalah kaum perempian yang tertindas, begitulah citra yang mereka miliki," tutur Sarah.

Lucunya, ujar Sarah, ketika menjadi seorang muslimah ia justru merasa lebih terbebaskan daripada ketika ia masih menjadi seorang Kristiani. "Saya tidak merasa tertindas, tapi saya tidak merasa terbebaskan ketika masih menganut agama Kristen. Setelah menjadi seorang muslim, saya merasa lebih bebas dan merdeka. Perlakuan terhadap kaum perempuan di beberapa negara cenderung karena pengaruh budaya dan tentu saja tidak islami. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa perempuan punya hak, laki-laki juga punya hak. Kami punya hak yang sama," papar Sarah.

Ia mengungkapkan, kedamaian dalam Islam yang membuatnya tertarik pada Islam. "Islam adalah agama komunitas tapi fokusnya adalah masing-masing individu dan hubungannya dengan Tuhan. Setiap hari Anda berdoa dan berusaha untuk melakukan kebaikan. Hanya Anda dan Tuhan yang tahu, apa yang telah Anda lakukan," ujar Sarah. (ln/mv)


source: Eramuslim