Saturday, December 18, 2010

Ilustrasi Manajemen Waktu


Suatu hari, seorang ahli 'Manajemen Waktu' berbicara di depan sekelompok mahasiswa bisnis, dan ia memakai ilustrasi yg tidak akan dengan mudah dilupakan oleh para siswanya.

Ketika dia berdiri dihadapan siswanya dia berkata: "Baiklah, sekarang waktunya kuis " Kemudian dia mengeluarkan toples berukuran galon yg bermulut cukup lebar, dan meletakkannya di atas meja.

Lalu ia juga mengeluarkan sekitar selusin batu berukuran segenggam tangan dan meletakkan dengan hati- hati batu-batu itu kedalam toples.

Ketika batu itu memenuhi toples sampai ke ujung atas dan tidak ada batu lagi yg muat untuk masuk ke dalamnya, dia bertanya:" Apakah toples ini sudah penuh?"

Semua siswanya serentak menjawab, "Sudah!"

Kemudian dia berkata, "Benarkah?"

Dia lalu meraih dari bawah meja sekeranjang kerikil. Lalu dia memasukkan kerikil-kerikil itu ke dalam toples sambil sedikit mengguncang-guncangkannya, sehingga kerikil itu mendapat tempat diantara celah-celah batu-batu itu.

Lalu ia bertanya kepada siswanya sekali lagi: "Apakah toples ini sudah penuh?"

Kali ini para siswanya hanya tertegun, "Mungkin belum!", salah satu dari siswanya menjawab.

"Bagus!" jawabnya.

Kembali dia meraih kebawah meja dan mengeluarkan sekeranjang pasir. Dia mulai memasukkan pasir itu ke dalam toples, dan pasir itu dengan mudah langsung memenuhi ruang- ruang kosong diantara kerikil dan bebatuan.

Sekali lagi dia bertanya, "Apakah toples ini sudah penuh?"

"Belum!" serentak para siswanya menjawab sekali lagi dia berkata, "Bagus!"

Lalu ia mengambil sebotol air dan mulai menyiramkan air ke dalam toples, sampai toples itu terisi penuh hingga ke ujung atas.

Lalu si Ahli Manajemen Waktu ini memandang kpd para siswanya dan bertanya: "Apakah maksud dari ilustrasi ini?"

Seorang siswanya yg antusias langsung menjawab, "Maksudnya, betapapun penuhnya jadwalmu, jika kamu berusaha kamu masih dapat menyisipkan jadwal lain kedalamnya!"

"Bukan!", jawab si ahli, "Bukan itu maksudnya. Sebenarnya ilustrasi ini mengajarkan kita bahwa :

JIKA BUKAN BATU BESAR YANG PERTAMA KALI KAMU MASUKKAN, MAKA KAMU TIDAK AKAN PERNAH DAPAT MEMASUKKAN BATU BESAR ITU KE DALAM TOPLES TERSEBUT.

"Apakah batu-batu besar dalam hidupmu? Mungkin anak-anakmu, suami/istrimu, orang-orang yg kamu sayangi, persahabatanmu, kesehatanmu, mimpi-mimpimu. Hal-hal yg kamu anggap paling berharga dalam hidupmu.

Ingatlah untuk selalu meletakkan batu-batu besar tersebut sebagai yg pertama, atau kamu tidak akan pernah punya waktu untuk memperhatikannya.

Jika kamu mendahulukan hal-hal yang kecil dalam prioritas waktumu, maka kamu hanya memenuhi hidupmu dengan hal-hal yang kecil, kamu tidak akan punya waktu untuk melakukan hal yang besar dan berharga dalam hidupmu".

Source: Bunga Rampai 11

Wednesday, December 1, 2010

Fastfood

Jika punya waktu sedikit luang dan kebetulan Anda sedang berjalan-jalan di sekitar Sarinah Jl. Thamrin, Jakarta, berhentilah sejenak untuk memperhatikan sebuah restoran cepat saji (Fastfood) Mc Donald, niscaya Anda akan menemukan pemandangan yang lumayan kontras. Bukan pemandangan anak-anak jalanan yang menempelkan mulut dengan mata celong-nya di kaca tengah memperhatikan orang-orang didalam yang sedang makan ayam renyah dan seketika berhamburan masuk sesaat setelah yang didalam selesai makan untuk berebut sisa ayam dan kentang yang tidak dihabiskan, dan bukan pula wajah-wajah murung menahan lapar tatkala sisa ayam dan kentang yang diharap ternyata tak didapat. Karena kalau soal itu, semestinya tak lagi menjadi wacana, tetapi langsung pada aksi yakni dengan berbagi kenikmatan kepada mereka.

Yang ingin saya ajak untuk Anda perhatikan adalah pemandangan kontras dalam cara menyantap makanan cepat saji tersebut antara orang kita (lokal) dan para bule. Untuk diketahui, restoran cepat saji di areal tersebut memang menjadi salah satu tempat favorit para bule yang kebetulan lokasinya tidak jauh dengan Jl. Jaksa, tempat tinggal sementara para bule tersebut. Apa bedanya? Untuk mengetahui bedanya, mari kita pelajari dulu asal muasal keberadaan fastfood (apapun merk- nya).

Di AS, keberadaan fastfood sangat berkaitan dengan tingkat kesibukan manusia-manusia profesional yang sangat menghargai waktu mereka, sehingga sering kita dengar istilah “time is money” secara akrab. Tuntutan profesionalisme dan tingginya kinerja manusia-manusia disana menyebabkan mereka tak lagi menganggap makan sebagai sesuatu yang penting. Oleh karenanya, tak heran jika kemudian berkembang produksi pil pengganti makan, atau sereal yang mengandung vitamin sesuai dengan ukuran vitamin yang diperlukan oleh tubuh.

Singkatnya, mereka tidak ingin membuang banyak waktu untuk sekedar menyiapkan makan, juga menyantapnya. Seiring dengan kondisi tersebut, bermunculanlah ide fastfood (apapun jenis dan merk-nya) yang memungkinkan para profesional tersebut tidak kehilangan waktu dan energi karena sudah ada yang menyiapkannya, juga tidak kehabisan waktu menyantap karena sifat dan jenis makanannya yang simpel (misalnya, McD, satu potong ayam dan segelas soft drink).

Nah, Anda bisa lihat karena namanya fastfood (makanan cepat saji) yang khusus disediakan bagi mereka yang sangat menghargai waktu, maka mereka pun tidak pernah berlama-lama duduk di restoran tersebut, dan bahkan tidak sedikit yang membawanya ke mobil atau meja kerja mereka. Namun coba Anda perhatikan, orang-orang kita (lokal) yang juga sangat menyukai makanan tersebut, justru mereka menjadikan restoran fastfood tersebut untuk tempat ngobrol dan kongkow-kongkow, bahkan kencan!

Allah sering mengingatkan kita untuk senantiasa memperhatikan dan menghargai waktu. Sedemikian pentingnya waktu bagi manusia, sampai Allah pun bersumpah demi waktu. Beberapa awal Surat dalam Al Qur’an menyatakan pentingnya waktu, antara lain Demi Waktu (Ashar), Demi Waktu Subuh, Demi Waktu Dhuha, Demi Malam dan lain sebagainya. Kalau urusan makan pun orang-orang diluar Islam sedemikian menghargai waktu mereka, apatah lagi untuk hal-hal lain yang jauh lebih penting dan bermanfaat.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa mereka lebih baik dan unggul dalam segala hal, namun untuk hal satu ini, mungkin semestinya kita belajar bagaimana menghargai dan memanfaatkan waktu agar tidak terbuang sia-sia. Setiap manusia diberikan jatah waktu 24 jam sehari, tidak ada yang dilebihkan atau dikurangi. Tapi kenapa ada manusia yang sukses dan tidak sedikit pula yang gagal, bisa jadi salah satu faktor keberhasilan seseorang meraih sukses (sebaliknya, juga menjadi salah satu faktor kegagalan) adalah bagaimana cara ia memanfaatkan waktunya dengan baik, efektif dan maksimal.

Dari contoh makan diatas misalnya, terlihat jelas perbedaan cara pandang sebagian orang kita dan (juga sebagian) orang-orang profesional. Mereka menjadikan makan (dengan menggunakan waktu secara efektif) sebagai bagian dari faktor pendukung kesuksesan, sementara sebagian kita menempatkan ‘makan’ sebagai bagian dari nikmat hidup. Karena perbedaan cara pandang tersebut, itulah yang Anda saksikan di beberapa restoran fastfood, orang kita yang datang lebih awal dibanding orang-orang profesional itu, namun mereka yang jauh lebih awal keluar dari tempat tersebut.

Dari kesalahan cara pandang terhadap makanan fastfood tadi, menimbulkan satu kesalahan pandangan terhadap visi kesuksesan. Kok bisa? Orang-orang profesional yang telah merengkuh kesuksesan (sekali lagi), karena mereka sangat memperhitungkan setiap detik waktu yang mereka punyai, itulah yang kemudian menjadikan ‘makan’ dimata mereka sebagai sesuatu yang harus sesegera mungkin diselesaikan.

Satu hal yang menjadi patokan adalah, kesuksesan harus melalui jalan yang panjang, dan salah satu faktor pendukungnya adalah dengan memanfaatkan setiap detik waktu agar tidak terbuang percuma. Sedetik saja waktu terbuang tanpa makna, mereka akan merasa semakin panjang jalan yang harus ditempuh menuju kesuksesannya, semakin mahal harga yang harus ditebusnya guna meraih sukses yang dicitakannya.

Allah dalam Al Qur’an Surat Al Insan ayat 23-25 mengajarkan kepada orang- orang beriman tentang proses atau tahap-tahapan meraih sukses. Allah menggambarkan tentang turunnya Al Qur’an yang berangsur-angsur. Seperti halnya Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa (Al Hadid:4), seharusnya kita belajar bahwa tidak ada sesuatu yang bisa diraih secara instan, serba cepat tanpa melalui tahap-tahap dan perjuangan menujunya.

Maka dalam ayat ke-24 (Al Insan), Dia meminta manusia untuk bersabar (dalam menjalani) ketetapan Tuhan tersebut. Dan agar manusia senantiasa bahwa segala sesuatu itu atas kehendak-Nya, maka Dia memerintahkan kita untuk menyebut nama-Nya setiap saat.

Kesuksesan, satu cita yang hanya bisa diraih dengan perjuangan, kesungguhan dan melewati berbagai tahap sebelum merengkuhnya. Tidak ada orang bermimpi kemudian bangun tidur diatas tumpukan emas berlimpah, atau juga orang yang hari ini masih luntang-lantung tanpa pekerjaan yang jelas, kemudian esok harinya sudah duduk di meja kerja seorang Direktur dan memimpin sebuah perusahaan besar. Ah, mungkin kita terlalu banyak makan mie instant sehingga pola pikir yang terbentuk pada diri kita adalah, segala sesuatu bisa terjadi dalam waktu singkat. Atau mungkin kita terlalu sering nongkrong di restoran fastfood? Wallaahu ‘a’lam bishshowaab. (Bayu Gautama)


eramuslim.com

*didapatkan dari Bunga Rampai 6

Friday, November 12, 2010

ASSALAM MEDICAL ESSAY COMPETITION

Bimillahirahmanirrahim..

Assalamu alaykum warahmatullahi wabarakatuh..

Alhamdulillah, Assalam punya acara baru, yaitu...

ASSALAM MEDICAL ESSAY COMPETITION

Tema: Kompetensi dan moralitas dokter muslim dalam menghadapi globalisasi

1. Essay minimal 500 kata, spasi 1,5, margin atas,bawah,kanan dan kiri 3 cm, ukuran kertas A4

2. Halaman pertama berisi judul dan identitas penulis (nama,nim,prodi,angkatan)

3. Halaman berikutnya berisi judul dan teks (tanpa identitas)

4. Mengumpulkan fotocopy KTM 2 lembar

5. Naskah essay diperbanyak 3 buah

6. Softcopy naskah essay dikirim ke email assalambemkmfkunair@ymail.com

7. Biaya pendaftaran Rp 10.000,00

8. Pengumpulan essay paling lambat 29 November 2010

9. Untuk mahasiswa baru 2010 poin maksimal 20 poin

Hadiah

Juara I: uang tunai Rp 200.000 +sertifikat

Juara II: uang tunai Rp 150.000+sertifikat

Juara III:uang tunai Rp 100.000 +sertifikat

CP: Erien PD09 085731351669

Dita PD09 085735660336

Farida PB09 085645436052

Dian AM09 089675721583


Ikutan yaaaaaaaaaaaaaa....


Monday, November 8, 2010

SITOKIN 1 2010 GALLERY

Berikut beberapa foto yang terambil selama Sitokin 1 tahun 2010:

Saturday, November 6, 2010

SITOKIN 1 2010

SELAMAT DATANG SAUDARA-SAUDARAKU
PROUD TO BE YOUTH MUSLUM GENERATION

Monday, October 18, 2010

Pilih Pacaran atau…..Ta’aruf?

Jaman sekarang gampang banget ketemu sama orang yang lagi pacaran. Di jalan, mal, kampus, di mana-mana. Apalagi sekarang kan ada acara TV yang nyomblang-in orang sampai ke pengeksposean pernyataan cinta segala.

Sebetulnya apa sih pacaran itu? Biasanya kalau ada cowok dan cewek saling suka, salah satunya nyatain dan yang lainnya terima, itu berarti udah pacaran. Buat sebagian orang pacaran itu isinya jalan berdua, makan, nonton, curhat-curhatan. Pokoknya just for fun lah! Ada juga orang-orang tujuannya untuk lebih mengenal sebelum pernikahan.

Sebagai umat Islam kita perlu lho mengkritisi apakah “praktek pacaran” yang banyak dilakukan orang ini sesuai atau tidak dengan aturan-aturan dalam Islam.

Pertama, orang kalo lagi pacaran maunya berdua terus. Ah yang bener, iya apa iya. Beberapa hari enggak ditelpon udah resah, seharian enggak di sms udah kangen. Begitu ketemu pengen memandang wajahnya terus, wah pokoknya dunia serasa berbunga-bunga. Apalagi kalau pakai acara mojok berdua, di tempat sepi mesra-mesraan. Waduh, hati-hati deh, soalnya Rasulullah SAW bersabda, “ Tiada bersepi-sepian seorang lelaki dan perempuan, melainkan syetan merupakan orang ketiga diantara mereka.”

Kedua, kalau lagi pacaran rasanya seperti dimabuk cinta. Lupa yang lainnya. Dunia serasa milik berdua yang lainnya ngontrak. Hati-hati juga nih, nanti kita bisa lupa sama tujuan Allah menciptakan kita (manusia). FirmanNya, “ Dan tidak Kuciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS 51:56)

Ketiga, bukan rahasia lagi kalau di jaman serba permisif ini seks udah jadi bumbu penyedap dalam pacaran (Majalah Hai edisi 4-10 Maret 2002). Majalah Kosmopolitan juga mengadakan riset di lima universitas terbesar di Jakarta, dan ternyata dari yang mengaku pernah melakukan aktivitas seksual, sebanyak 67,1% pertama kali melakukan dengan pacarnya.

Memang banyak orang pacaran awalnya enggak menjurus ke sana. Tapi gara-gara sering berdua, ada kesempatan, dan diem-diem syetan udah ngerubung, yah terjadilah. Pertama pegang tangan, terus rangkul pundak, terus cium pipi, terus…..terus…..wah bisa kebablasan deh. Jangan salah lho, agama kita melindungi kita dengan melarang melakukan perbuatan-perbuatan itu. FirmanNya, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu pekerjaan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS 15:32) Ternyata Al Quran udah melakukan tindakan preventif dengan melarang mendekatinya, bukan melarang melakukannya. Rasulullah SAW juga bersabda, “Seandainya kamu ditusuk dengan jarum besi, maka itu lebih baik bagimu daripada menyentuh perempuan yang tidak halal bagimu.” Jadi pegang-pegangan tangan juga mesti dihindari tuh.

Keempat, ternyata pacaran bukan jaminan akan berlanjut ke jenjang perkawinan. Banyak orang di sekitar kita yang sudah bertahun-tahun pacaran ternyata kandas di tengah jalan. Pacaran pun tidak menjadikan kita tahu segalanya tentang si dia. Banyak yang sikapnya berubah setelah menikah.

Kalaulah kini kita tahu praktek pacaran nggak menjadi suatu jaminan bahkan banyak melanggar aturan Allah dan tidak mendapat ridhoNya, masihkah kita yang mengaku hambaNya, yang menginginkan surgaNya, yang takut akan nerakaNya, masih melakukannya? Tapi kalau bukan dengan pacaran, gimana caranya ketemu jodoh? Jaman sekarang kan kita enggak bisa gampang percaya sama orang, jadi perlu ada penjajagan. Islam punya solusi yang mantap dan OK dalam memilih jodoh. Istilahnya ngetop dengan nama Ta’aruf, artinya perkenalan.

Pertama, ta'aruf itu sebenarnya hanya untuk penjajagan sebelum menikah. Jadi kalau salah satu atau keduanya nggak merasa sreg bisa menyudahi ta'arufnya. Ini lebih baik daripada orang yang pacaran lalu putus. Biasanya orang yang pacaran hatinya sudah bertaut sehingga kalau tidak cocok sulit putus dan terasa menyakitkan. Tapi ta'aruf, yang Insya Allah niatnya untuk menikah Lillahi Ta'ala, kalau tidak cocok bertawakal saja, mungkin memang bukan jodoh. Tidak ada pihak yang dirugikan maupun merugikan.

Kedua, ta'aruf itu lebih fair. Masa penjajakan diisi dengan saling tukar informasi mengenai diri masing-masing baik kebaikan maupun keburukannya. Bahkan kalau kita tidurnya sering ngorok, misalnya, sebaiknya diberitahukan kepada calon kita agar tidak menimbukan kekecewaan di kemudian hari. Begitu pula dengan kekurangan-kekurangan lainnya, seperti mengidap penyakit tertentu, enggak bisa masak, atau yang lainnya. Informasi bukan cuma dari si calon langsung, tapi juga dari orang-orang yang mengenalnya (sahabat, guru ngaji, orang tua si calon). Jadi si calon enggak bisa ngaku-ngaku dirinya baik. Ini berbeda dengan orang pacaran yang biasanya semu dan penuh kepura-puraan. Yang perempuan akan dandan habis-habisan dan malu-malu (sampai makan pun jadi sedikit gara-gara takut dibilang rakus). Yang laki-laki biarpun lagi bokek tetap berlagak kaya traktir ini itu (padahal dapet duit dari minjem temen atau hasil ngerengek ke ortu tuh).

Ketiga, dengan ta'aruf kita bisa berusaha mengenal calon dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Hal ini bisa terjadi karena kedua belah pihak telah siap menikah dan siap membuka diri baik kelebihan maupun kekurangan. Ini kan penghematan waktu yang besar. Coba bandingkan dengan orang pacaran yang sudah lama pacarannya sering tetap merasa belum bisa mengenal pasangannya. Bukankah sia-sia belaka?

Keempat, melalui ta'aruf kita boleh mengajukan kriteria calon yang kita inginkan. Kalau ada hal-hal yang cocok Alhamdulillah tapi kalau ada yang kurang sreg bisa dipertimbangan dengan memakai hati dan pikiran yang sehat. Keputusan akhir pun tetap berdasarkan dialog dengan Allah melalui sholat istikharah. Berbeda dengan orang yang mabuk cinta dan pacaran. Kadang hal buruk pada pacarnya, misalnya pacarnya suka memukul, suka mabuk, tapi tetap bisa menerima padahal hati kecilnya tidak menyukainya. Tapi karena cinta (atau sebenarnya nafsu) terpaksa menerimanya.

Kelima, kalau memang ada kecocokan, biasanya jangka waktu ta'aruf ke khitbah (lamaran) dan ke akad nikah tidak terlalu lama. Ini bisa menghindarkan kita dari berbagai macam zina termasuk zina hati. Selain itu tidak ada perasaan "digantung" pada pihak perempuan. Karena semuanya sudah jelas tujuannya adalah untuk memenuhi sunah Rasulullah yaitu menikah.

Keenam, dalam ta'aruf tetap dijaga adab berhubungan antara laki-laki dan perempuan. Biasanya ada pihak ketiga yang memperkenalkan. Jadi kemungkinan berkhalwat (berdua-duaan) kecil yang artinya kita terhindar dari zina.

Nah ternyata ta'aruf banyak kelebihannya dibanding pacaran dan Insya Allah diridhoi Allah. Jadi, sahabat……..kita mau mencari kebahagian dunia akhirat dan menggapai ridhoNya atau mencari kesulitan, mencoba-coba melanggar dan mendapat murkaNya?

oetari@alexandria.cc


Kafemuslilmah.com

Tuesday, September 21, 2010

Mencintai Diri Sendiri

"Mencintai diri sendiri,
Memahami bahasa hati, dengan menegakkan kepala,
berarti menjulang mencapai ujung...
Mencintai diri sendiri,
Mencerna seribu makna, dengan tatapan setajam elang,
berarti maju, bergerak dan mengebiri kemalasan...
Mencintai diri sendiri,
dan berbangga dengan perjuangan yang telah dilakukan,
berarti berucap: Alhamdulillah"
(Husnul, kado cinta untuk Azimah, 29 Agustus 2003)

***

eramuslim - Menjadi baik dalam segalanya adalah dambaan tiap orang. Menjadi cantik, lembut, ramah, baik hati, bijaksana, lapang dada, dermawan, menyenangkan, sabar, tegar, cerdas, pintar, menarik hati, enak dipandang, enak dijadikan teman curhat dan semua kebaikan lainnya

Berbahagialah mereka yang mewarisi gen-gen kebaikan dari orang tuanya. Berbahagialah mereka yang dibesarkan dalam lingkungan yang baik. Berbahagialah mereka yang mendapatkan pendidikan yang baik dari orang tua dan sekolahnya. Hingga ia tumbuh dewasa dalam kebaikan, tanpa pergolakan jiwa yang berarti, tak perlu lagi menghadapi dilema dan menyesali perjalanan hidupnya sendiri.

Namun bagaimana dengan mereka yang menjalani proses hidup sebaliknya? Rasanya begitu berat. Begitu pedih. Begitu nyeri. Begitu menyesakkan. Saat kebencian itu hadir. Saat ketidak sukaan melingkupi. Saat ketidak mengertian memenuhi. Saat ketidak berdayaan menghantui. Terhadap diri sendiri. Mengapa aku buruk rupa? Mengapa keluargaku berantakan? Mengapa aku tidak cerdas? Mengapa aku selalu gagal? Mengapa aku tidak disukai teman-temanku? Mengapa perjalanan hidupku seperti ini? Mengapa aku selalu naif? Mengapa aku selalu salah? Mengapa? Dan banyak mengapa lainnya...

Ketika semua perasaan itu hadir dan melibas diri, hidup menjadi sangat sulit. Dunia menjadi teramat gelap. Hingga segala tentang diri kita pun terasa bernuansa pekat. Kita buruk dan hanya orang lain yang baik. Dan kita pun ingin terbang, pergi dan menjadi orang lain atau malah terpuruk saja di dalam bumi.

Pernahkah kemudian kita terpikir: Betapa kasihan 'makhluk kecil' di dalam sana. Sesosok 'diri' yang disadari atau tidak, dibenci oleh dirinya sendiri. Mungkin jasad sang diri memang tidak cakep. Mungkin pribadi sang diri memang tidaklah menyenangkan. Mungkin perjalanan hidup sang diri cukup menyebalkan. Namun sang diri tetap butuh cinta. Agar dengannya dia tumbuh dan berkembang ke arah kebaikan. Berapa banyak cerita tentang seseorang yang berubah menjadi lebih baik karena merasa dicintai? Berapa banyak orang yang termotivasi karena dicintai? Betapa banyak orang yang ingin diterima apa adanya? Dicintai setulusnya? Dan cinta itu, at very first, hanya pemilik 'diri' lah yang harus memberikannya. Jika bukan kau, siapa lagi? Engkau yang paling mengerti dirimu sendiri. Maka engkau lah yang paling layak, paling berhak dan paling berwenang mencintai dirimu sendiri.

Cintailah dirimu sendiri. Beri penghargaan. Beri pujian untuk keistimewaan-keistimewaan dalam dirimu sendiri Terimalah ia apa adanya. Pahami kelemahan-kelemahannya. Lihat kembali perjalanan hidupmu ke belakang. Mungkin kau akan melihat banyak kesalahan. Mungkin kau akan menemukan banyak kenaifan. Mungkin kau akan menjumpai banyak hal memalukan. Mungkin kau akan menemukan banyak kegetiran. Ketidaksukaan. Seperti halanya kau ingin orang lain menerima dirimu apa adanya, maka kau harus memulainya dari dirimu sendiri. Terimalah dirimu apa adanya. Cintai ia. Sungguh cinta itu akan menjadi kekuatan besar untuk membangun diri.

Cinta itu, akan mengarahkan jiwamu terus menerus bergejolak. Cinta itu akan mewadahi hatimu terus menerus bergolak. Cinta itu akan mendamaikan perasaanmu yang tak pernah berhenti dan mati. Cinta itu akan membuatmu terus berusaha memperbaiki diri. Cinta itu akan membuatmu bangga dengan perjuangan yang telah kau lakukan. Cinta itu akan menjagamu dari membandingkan diri dengan orang lain serta lebih memilih membandingkan diri sendiri yang sekarang dengan beberapa waktu serbelumnya.

Maka kemudian dirimu akan sanggup berkata, "Mungkin aku yang sekarang masih belum sebaik orang pada umumnya. Mungkin aku yang sekarang belum sebaik manusia muslim yang sesungguhnya. Tapi akau tahu aku yang sekarang adalah aku yang lebih baik dari aku sebelumnya. Dan aku bangga karena untuk menjadi aku yang sekarang kulewati dengan penuh air mata. Aku bangga dengan diriku yang sekarang karena akau telah menempuh prosesnya."

Jika tak ada yang mencintaimu kini, bisa jadi itu karena engkau bahkan tak mencintai dirimu sendiri. Karena itu, cintailah dirimu sendiri. Karena dari sana kau akan bisa mencintai dan dicintai orang lain.

***

Azimah Rahayu
# Paseban, 180105 Untuk diri sendiri dan mereka yang pernah berkesah tentang dirinya yang tak ia cintai
azi_75 at yahoo dot com

*Bunga Rampai IX

Monday, August 30, 2010

Kemuliaan Lailatul Qadr

BULAN Ramadan merupakan satu bulan yang penuh keberkatan di mana Allah SWT meluaskan rahmat-Nya agar menaungi seluruh hamba-hamba- Nya yang tekun beribadat dan taat kepada-Nya dengan memberi ganjaran pahala yang berlipat kali ganda.

Pada bulan ini juga terdapat satu malam yang lebih mulia berbanding 1,000 bulan, iaitu lailatul qadar. Padanyalah diturunkan al-Quran yang dijadikan panduan bagi seluruh umat Islam.

Firman Allah SWT: Sesungguhnya Kami telah menurunkan (al-Quran) itu pada malam al-Qadar. Apakah cara yang membolehkan engkau mengetahui kebesaran lailatulqadar itu? Lailatul qadar ialah malam yang paling baik berbanding 1,000 bulan. Pada malam itu, para malaikat dan Jibril turun dengan izin Tuhan mereka membawa segala perkara (yang ditakdirkan berlakunya pada tahun berikutnya). Sejahteralah malam (yang berkat) itu hingga terbit fajar. (al-Qadr: 1-5).

Oleh itu, sesiapa yang beribadat pada bulan Ramadan dan menepati malam lailatul qadar, ganjaran pahala amalannya itu melebihi ibadah yang dilakukannya selama 1,000 bulan.

Apakah itu lailatul qadar?

Tentang makna al-Qadr, sebahagian ulama berpendapat ia bermaksud pengagungan. Dari sini dapat kita fahami bahawa lailatul qadar bermaksud malam yang memiliki keagungan kerana diturunkan al-Quran pada malam tersebut, turunnya para malaikat, melimpahnya rahmat dan keampunan Allah serta Allah akan menganugerahkan keagungan (kemuliaan) kepada mereka yang beribadat pada malam itu.

Al-Qadr juga bermaksud penetapan. Oleh itu, lailatul qadar juga bermaksud malam penetapan segala urusan yang bakal berlaku pada tahun berikutnya. Ini jelas bertentangan dengan tanggapan kebanyakan umat Islam di Malaysia yang beranggapan bahawa malam Nisfu Syaaban merupakan malam di mana Allah menetapkan apa yang ditakdirkan untuk kita pada tahun berikutnya.

Mereka berhujah dengan firman Allah SWT: Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran itu pada malam yang berkat; (Kami berbuat demikian) kerana sesungguhnya Kami sentiasa memberi peringatan dan amaran (agar hamba-hamba Kami tidak ditimpa azab). (Kami menurunkan al-Quran pada malam itu kerana) pada malam yang berkat itu dijelaskan (kepada malaikat) tiap-tiap perkara yang mengandungi hikmat serta ketetapan yang bakal berlaku. (al-Dukhan: 3-4.

Menurut tafsiran 'Ikrimah, malam yang diberkati dan ditetapkan segala urusan manusia itu adalah malam Nisfu Syaaban. Namun, pendapat ini tertolak kerana nas-nas yang sahih menjelaskan bahawa al-Quran diturunkan pada bulan Ramadan. Malam yang diberkati itu adalah malam lailatul qadar sebagaimana yang terdapat di dalam surah al-Qadr yang penulis paparkan sebelum ini.

Al-Hafiz Ibn Kathir r.h ketika mentafsirkan surah al-Dukhan, ayat 3-4, katanya: "Allah berfirman menjelaskan tentang al-Quran al-Adzim bahawa al-Quran diturunkan pada malam yang penuh berkat, iaitu malam al-Qadr sebagaimana firman Allah di dalam surah al-Qadr: Sesungguhnya Kami telah menurunkan (al-Quran) ini pada malam al-Qadr. (al-Qadr: 1).

Hal itu terjadi pada bulan Ramadan sebagaimana firman Allah: (Masa yang diwajibkan kamu berpuasa ialah) bulan Ramadan yang diturunkan al-Quran padanya...(al-Baqarah: 185).

Pengajaran di sini ialah sesiapa yang mengatakan bahawa malam yang dimaksudkan (dalam surah al-Dukhaan itu) adalah malam Nisfu Syaaban seperti yang diriwayatkan daripada 'Ikrimah, bererti dia telah menjauhkan diri dari pengertian asalnya. Ini kerana, nas al-Quran menegaskan bahawa yang dimaksudkan dengan malam yang penuh berkat itu (lailatul qadar) adalah pada bulan Ramadan. (Rujuk Kitab Tafsir al-Quran al-'Adzim karya al-Hafiz Ibn Kathir, jil. 4, ms. 137).

Syeikh Muhammad Abdul Salam r.h berkata: "Keyakinan bahawa malam Nisfu Syaaban adalah malam al-Qadr adalah keyakinan yang salah". Demikian kesepakatan para ulama hadis sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Kathir di dalam tafsirnya. Ketika menjelaskan Sunan al-Tirmizi, Ibn al-Arabi mengatakan bahawa firman Allah di dalam surah al-Dukhan, ayat 3: Sesungguhnya kami menurunkan al-Quran bermaksud diturunkan pada malam Nisfu Syaaban adalah tidak benar kerana Allah tidak pernah menurunkan al-Quran pada bulan Syaaban.

Ayat itu harus difahami secara lengkapnya sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran pada malam al-Qadr di mana lailatul qadar itu hanya wujud pada bulan Ramadan. Hal ini juga ditegaskan oleh Allah di dalam surah al-Baqarah, ayat 185 di atas tadi.

Keyakinan al-Qadr berlaku pada malam Nisfu Syaaban bertentangan dengan Kitabullah dan jauh terpesong dari isi kandungannya.

Perlu kami ingatkan bahawa Allah sendiri menegaskan tentang malam itu di dalam surah al-Dukhan, ayat 3: (Kami menurunkan al-Quran pada malam itu kerana) pada malam yang berkat itu dijelaskan (kepada malaikat) tiap-tiap perkara yang mengandungi hikmat serta ketetapan bermaksud pada malam al-Qadr dijelaskan segala hal kepada malaikat bukannya pada malam Nisfu Syaaban. (Rujuk Kitab al-Sunan wa al-Mubtada'at karya Muhammad Abdul Salam Khadr al-Syaqiry, ms. 156).

Bilakah berlakunya lalitaul qadar?

Sabda Rasulullah SAW: Carilah lailatul qadar pada malam-malam yang ganjil daripada 10 malam terakhir di bulan Ramadan. (riwayat al-Bukhari di dalam sahihnya, no: 2017.

Dalam sabdanya yang lain baginda SAW menyebut: Carilah (lailatulqadar) pada 10 malam terakhir. Jika seseorang kamu lemah atau tidak mampu, janganlah Dia kalah (putus asa) mencarinya pada baki tujuh malam terakhir. (riwayat Muslim di dalam Sahihnya, no: 1165).

Kombinasi hadis di atas dapatlah kita simpulkan bahawa kita sepatutnya menggandakan ibadah pada malam yang ganjil bermula 10 malam terakhir pada bulan Ramadan terutamanya pada malam ke 23, 25, 27 dan 29.

source

Saturday, August 21, 2010

Konsultasi

Yendry - Pamulang

Assalammualaikum Wr Wb Bapak Ustadz yang terhormat, beberapa hal yang ingin saya tanyakan (yang selama ini mengganjal dalam benak saya) adalah sebagai berikut :

1. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, betulkah ISLAM terbagi menjadi 73 Kelompok/Golongan dan hanya 1 Golongan yang diselamatkan ?

2. Supaya dalam menjalankan ibadah sempurna, apakah kita diwajibkan (harus) memiliki IMAM dimana kita juga nantinya akan di BAIT ? Bagaimana dengan salah satu hadis yang mengatakan (kira-kira bunyinya sebagai berikut : ) Kita hidup harus seperti DOMBA yang hidup selalu bersama (bergerombol) sehingga nantinya tidak di makan oleh SERIGALA. (mohon maaf jika salah). Lalu jika memang harus BERIMAM, bagaimana cara kita memilih salah satu IMAM yang terbaik untuk kita jalankan ?

3. Apakah betul sholat Duha tidak boleh dilakukan tiap hari ?

4. Apakah jika hendak memulai sholat (terutama dirumah) harus diawali dengan sholat wudhu ? apakah itu baik atau Bid'ah ?

Demikianlah, mohon penjelasan Bapak Ustadz, terimakakasih atas jawaban Bapak dan mohon maaf jika ada kekhilafan. Mohon jawaban atas pertanyaan dikirimkan juga ke email saya, terimakasih. Wassalammualaikum Wr Wb.

yendrybosco@yahoo.com


Jawaban:

ssalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d

Masalah 73 Golongan
Ungkapan bahwa umat Rasulullah SAW akan terbagi menjadi 73 kelompok memang berasal dari sebuah hadits. Hadits itu memang benar adanya dan shahih. Namun Rasulullah SAW tidak pernah menyebutkan identitas dan nama-nama ke-72 golongan yang beliau sebutkan itu. Beliau hanya menyebutkan kriteria atau sifat-sifat 1 golongan yang selamat yaitu mereka yang berpegang teguh pada sunnahnya (manhajnya) dan sunnah (manhaj) para pengikutnya.

Sehingga memang masih tersisa pertanyaan buat kita, siapakah atau kelompok manakah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW itu ?

Namun sebagai pengantar latar belakang sejarah, usia umat Islam ini sudah mencapai 1400-an tahun dan hingga hari ini Islam dipeluk oleh tidak kurang 1,5 Milyar manusia. Bila kita telusuri sejarah, maka jumlah kelompok, organisasi, jamaah, paham, mazhab, aliran dan apapun jenisnya sungguh sangat banyak, tidak terbatas pada angka 73 saja. Lagi pula tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah yang dimaksud oleh beliau sebagai ‘firqah’ yang jumlahnya 73 itu bentuknya jamaah, organisasi, paham, aliran, kelompok, tanzim, atau mazhab ?

Sedangkan 1 firqah yang oleh beliau dikatakan satu-satunya yang selamat yaitu ahlus-sunnah wal jamaah’ dalam konteks pemahaman yang disepakati adalah sebuah pemahaman aqidah/tauhid. Bukan mazhab fiqih, nama organisasi, kelompok, jamaah atau lainnya.

Namun bila kita telusuri paham aqidah di luar ahlus-sunnah wal jamaah, kita mendapati bahwa paham-paham itu jumlahnya jauh memebihi angka 72 buah, apalagi bila dihitung sejak zaman nabi hingga hari ini dimana umat Islam telah tersebar luas dari Maroko sampai Maroke. Maka jumlahnya mencapai jutaan bahkan puluhan juta paham/aliran. Karena itu dari pada mengurusi atau mencari-cari siapakah yang dimaksud 72 firqah yang sesat itu, lebih baik kita berkonsentrasi agar kita bisa dimasukkan dalam kriteria 1 firqah yang selamat yaitu Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Caranya dengan mempelajari sunnah beliau SAW dari segala sisi dan aspek kehidupan seperti aqidah, syariah, akhlaq, sosial, politik, hukum, ekonomi dan lain-lainnya. Juga tidak lupa kita mengikuti pula apa yang telah disunnahkan oleh para khalifah beliau dan para ulama yang mewarisi kenabian. Dan selama Rasulullah SAw tidak memerintahkan kita untuk menelusuri ke-72 firqah itu, buat apa capek-capek dan bersibuk-sibuk mencari ‘kambing hitam’. Toh bila kita ‘menunjuk hidung’ kelompok tertentu, belum tentu mereka mau menerimannya. Kalaupun ketika kita mempelajari suatu aliran atau jamaah lalu kita mendapati ada hal-hal yang tidak sesuai dengan sunnah Nabi, bukan berarti kita boleh terburu-buru memasukkannya ke dalam kelompok 72 firqah yang sesat. Yang lebih baik justru kita melakukan ta`lim, pelurusan, penyesuaian dengan cara yang terbaik, terbuka, rendah hati dan dengan niat yang bersih hanya mencari ridha Allah.

Masalah Imam
Kewajiban untuk menegakkan sistem imamah dalam Islam adalah kewajian kifayah, dimana semua umat Islam diwajibkan ikut untuk menegakkannya. Namun sebagaimana kita ketahui, bahwa imamah yang ideal yaknii dalam bentuk jamaatul muslimin memang sekarang ini belum ada. Apalagi khilafah islamiyah, semua itu masih memerlukan proses yang lumayan panjang dan jalan berliku.

Karena posisi umat Islam saat ini memang sangat terpuruk, terpecah menjadi sekian banyak kelompok dan kepentingan. Sehingga untuk bersatu di bawah satu imam masih belum lagi siap. Yang ada saat ini barulah jamaah-jamaah yang terserak di sana sini. Semua masih mencari bentuk dan jati diri. Kalaulah ada imam, maka imam masing-masing jamaah. Belum lagi imam bagi seluruh umat Islam.

Dengan demikian, kewajiban untuk membai’at satu imam saja yang menyatukan seluruh individu ummat masih belum terjadi. Karena belum ada kesepakatan dari seluruh lapisan muslimin untuk memilih satu imam yang menjadi pimpinan mereka.

Kalaulah saat ini ada imam jamaah dan mereka dibai’at oleh jamaah itu, maka bai’at yang mereka lakukan belum lagi sampai kepada imamah uzhma, tapi bai’at atas imam masing-masing. Umat Islam lainnya yang masih belum tergabung menjadi anggota salah satu jamaah itu belum bisa dikatakan bukan bagian dari umat Islam. Juga tidak bisa dikatakan berdosa. Karena memang belum ada imam milik seluruh umat Islam.

Hadits yang Anda sebutkan itu memang memerintahkan kita untuk segera menegakkan adanya imamah di tengah tubuh kaum muslimin. Dan bahwa umat kita ini diterkam srigala sebagaimana dalam hadits itu, memang telah, sedang dan akan terus terjadi. Bukankah umat Islam sekarang ini berada di bawah cakar kuku zionisme yang memporak porandakan persatuan dunia Islam ?

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.


sumber : SyariahOnline

Pusat Konsultasi Syariah ~ Bunga Rampai

Thursday, August 12, 2010

Hikmah Ramadhan



Diantara nama bulan Ramadhan yang maghfirah adalah Syahrut Tabiyah dan Sahrul Jihad. Inilah nama-nama lain bulan Ramadhan yang penuh hikmah ini Ramadhan adalah tamu yang sangat agung yang selalu dinanti dan ditunggu oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Ada beberapa hikmah dari bulan Ramadhan yang penuh berkah dan maghfirah ini, yaitu sesuai dengan nama dari bulan Ramadhan itu sendiri. Bulan Ramadhan memiliki banyak nama disamping Ramadhan itu sendiri, diantaranya ialah :


1. Syahrut-Tarbiyah (Bulan Pendidikan)
Kenapa bulan Ramadhan disebut dengan syahrut Tarbiyah/bulan pendidikan, karena pada bulan ini kita dididik langsung oleh Allah SWT. seperti makan pada waktunya sehingga kesehatan kita terjaga. Atau kita diajarkan oleh supaya bisa mengatur waktu dalam kehidupan kita. Kapan waktu makan, kapan waktu bekerja, kapan waktu istirahat dan kapan waktu ibadah.

2. Syahrul Jihad
Pada masa Rasulullah justru peperangan banyak terjadi pada bulan Ramadhan dan itu semua dimenangkan kaum muslimin. Yang paling penting kita rasakan sekarang adalah kita berjihad melawan hawa nafsu sendiri, sehingga kita tetap bersungguh-sungguh menjalan aktifitas kita.

3. Syahrul Qur'an
Al-Qur'an petama sekali diturunkan di bulan Ramadhan dan pada bulan ini sebaiknya kita banyak membaca dan mengkaji kandungan Al-Qur'an sehingga kita faham dan mengerti perintah Allah yang terkandung di dalamnya.

4. syahrul Ukhuwah
Pada bulan ini kita merasakan sekali ukhuwah diantara kaum muslimin terjalin sangat erat dengan selalu berinteraksi di Masjid/Mushollah untuk melakkukan sholat berjama'ah. Dan diantara tetangga juga saling mengantarkan perbukaan sehingga antara kaum muslimin terasa sekali kebersamaan dan kesatuan kita.

5. Syahrul Ibadah
Bulan Ramadhan disebut juga dengan Bulan ibadah karena pada bulan ini kita banyak sekali melakukan ibadah-ibadah sunnah disamping ibadah wajib seperti sholat sunnat dhuha, rawatib dan tarawih ataupun qiyamullai serta tadarusan al-qur'an. Itulah diantara hihmah dari bulan Ramadhan sesuai dengan nama-namanya. (Kiriman Abu Mahbub)

source

Saturday, July 31, 2010

Sahabat Sejati, Hanya yang Berdimensi Ukhrawi

Temanmu adalah yang membuatmu menangis karena nasehat, bukan yang membuatmu tertawa disebabkan lelucon


Hidayatullah.com— “Seribu teman masih terlalu sedikit, sedangkan satu musuh sudah terlalu banyak," demikian seharusnya perilaku sosial orang dalam masyarat.


Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup dengan kesendiriannya. Mereka membutuhkan orang lain sebagai kawan, sahabat untuk saling melengkapi, membantu antar satu sama lain yang bisa menjalin persahatan hingga akhir. Istilahnya, teman bisa dicari dalam sehari namun persahabatan tak cukup dibangun hanya seribu waktu dan sejuta masa.


Ungkapan-ungkapan bijak ini bukanlah suatu yang mengada-ngada. Tapi memang, itulah kenyataannya. Seseorang akan sangat terbantu masalahnya, manakala ia memiliki banyak kawan. Misal, ketika ia membutuhkan pekerjaan, maka, dengan mudahnya ia bisa meminta pertolongan melalui teman-temannya untuk memberi informasi ketika lowongan itu ada. Ketika satu tempat gagal, ia akan menghubungi sahabatnya yang berada di lokasi lain. Begitu seterusnya, hingga ia memperoleh apa yang ia butuhkan. Ini masih seputar permasalahan ekonomi, belum merambat ke permasalah lain, seperti curhat, konsultasi, dan lain sebagainya. Sahabat sangat berperan penting untuk mencairkan permasalahan-permasalahan tersebut.



Sebaliknya, ketika seseorang memiliki musuh, dunia akan terasa sangat sempit, karena setiap kali kita melangkahkan kaki ke luar rumah, kita selalu merasa dihantui oleh rasa takut, khawatir akan bahaya ancaman musuh yang setiap saat bisa menghampiri. Dunia seluas inipun akan terasa tak seubahnya daun kelor, kecil lagi sempit. Itulah perbedaan antara memiliki teman dan musuh.



Sekalipun demikian kian, kitapun harus selektif dalam memilih teman, sebab, bukan mustahil sahabat yang kita anggap bisa membawa rahmat, justru menimbulkan mafsadat. Karena pada realitasnya, banyak orang yang 'mencuri' perilaku buruk dari teman karibnya. Yang menjadi masalah, kebanyakan mereka tidak menyadari sama sekali akan hal itu. Ingatlah akan warning Rosulullah yang menyatakan bahwa dalam hal bergaul dengan orang lain, kita tak ubahnya mendekati dua orang. Yang pertama, pandai besi, dan yang kedua penjual minyak wangi.



Ketika kita berakrab-akrab dengan pandai besi, sedikit demi sedikit kita akan terkena panasnya percikan api yang keluar dari besi. Sebaliknya, ketika kita berdekat-dekat dengan penjual wewangian, secara spontanitas, kitapun akan mendapatkan aroma harumnya juga. Begitu pula perihalnya dalam memilih sahabat. Karena itu, kita harus berhati-hati.



Teman Baik


Memiliki teman baik adalah impian semua orang. Tak satupun manusia sudi memiliki sahabat yang rela 'memakan' sahabatnya sendiri. Namun, kenyataannya tidak jarang orang salah kaprah dalam memaknai teman baik.


Ada sebagian mereka yang berpendapat bahwa teman baik itu adalah teman yang seia-sekata. Artinya, siap membantu dan mendukung dalam segala hal. Adalagi yang mendefinisikan, bahwa teman baik adalah teman yang setia dalam suka maupun duka.



Apapun definisi yang digunakan dalam memaknai teman baik, itu sah-sah saja, karena setiap orang pasti memiliki alasan tertentu mengapa ia memiliki pemahaman yang demikian. Namun, sebagai muslim, kita harus memiliki pemahaman yang pas, yang sejalan dengan ajaran Islam, sebab, tidak semua pengertian mengenai teman baik, itu sebanding lurus dengan ajaran agama ini.



Islam memiliki 'rambu-rambu' yang jelas dalam memaknai teman baik dan buruk. Sebab itu, belum tentu teman yang katanya seia dan sekata itu teman yang baik menurut pandangan Islam, karena, terlebih dahulu akan ditinjau, dalam hal apa mereka menerapkan definisi ini. Ketika mereka menegakkannya dalam hal amar ma'ruf nahi munkar, maka Islam membenarkannya. Tetapi, ketika hal itu dalam masalah kekufuran dan kejahatan, tentu hal ini tidak dibenarkan.



'Firman Allah,
“Dan saling membantulah kalian dalam hal kebaikkan, dan janganlah kalian saling membantu dalam hal keburukkan. “ (Al-Ma'idah: 2).


Karenanya, jangan sampai kita terkecoh, dengan alasan teman akrab, kitapun rela membantu teman kita, sekalipun dalam kejelekkan. Sekiranya itu terjadi, sejatinya kita telah berbuat kedzaliman pada teman, orang lain, dan pastinya, terhadap diri kita sendiri, “man a'annaka 'ala syarri dzalamaka” (barang siapa yang telah membantumu dalam hal keburukkan, maka sesungguhnya dia telah mendzalimu). Dampaknya, kita akan kebagian ‘bunga' dosa, sebagai buah atas keikutsertaan kita dalam mensukseskan misi jahat tersebut.



Hal ini berdasar pada hadits Nabi yang berbunyi,
“Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikkan maka ia akan mendapatkan ganjaran setimpal dengan apa yang dilakukan oleh si pelaku”.


Mafhum mukhalafah dari hadits ini, mereka yang membantu kejelekkan, pun akan mendapatkan balasan yang setimpal.


Dan yang lebih penting lagi, teman dalam perspektis Islam, tidak hanya terbatas di dunia semata. Namun, Ia mencakup dimensi akhirat. Persahabatan yang baik, yang mengharap ridha Allah, akan mengundang syafaat Allah di hari kiamat kelak.



Ini sebagaimana sabda Rosul yang menjelaskan bahwa kelak di akhirat akan ada beberapa kelompok manusia yang akan mendapat naungan Allah dimana pada saat itu tidak ada naungan selain naungan-Nya, dan salah satu diantara mereka adalah orang-orang yang bersahabat dan berpisah karena Allah.



Sebaliknya, persahabatan yang mengundang murka Allah, kelak, pada hari kiamat, justru akan menjadi sebab permusuhan mereka di akhirat, sekalipun mereka di dunia sangat kompak/setia, bagai kancing dan baju, kata orang. Mereka akan saling menyalahkan satu sama lain, saling menghujat, dan menuntut.



Firman Allah,
“Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa.” (Az-Zuhruf: 67)


Dalam surat Al-Furqan, Allah juga berfirman, “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang dzalim menggigit dua jarinya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, “Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rosul (27) wahai! Celaka aku! Sekiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku.” (Al-Furqan: 27-28).


Lalu, bagaimanakah profil teman baik itu, yang kelak, di akhiratpun akan tetap menjadi sahabat karib kita?



Dalam Al-Quran, Allah telah menggambarkan dengan gamblangnya sosok-sosok yang patut kita dekati sebagai teman dekat. Allah juga telah menjamin, bahwa hanya merekalah orang-orang yang baik untuk dijadikan teman.


Firman-Nya, “Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rosul-Nya (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (Al-An'am: 69)


Bukti konkrit akan kebenaran mereka sebagai pribadi-pribadi yang sholeh, tercermin pada perilaku mereka yang senantiasa menyeru manusia kepada kebaikkan dan mencegah dari kemungkaran. Dan ciri itu pula yang melekat pada sosok teman yang baik itu,
“Khaorul ash-haabi man yadulluka 'alal khairi” (Sebaik-baik teman adalah yang menunjukkanmu kepada kebaikan). Sahabat yang mengingatkan kita kepada kebaikan ketika kita lalai, mencegah kita untuk berbuat keji ketika kita terbawa arus ke sana, adalah hakekat teman sejati itu. Dan sungguh bukan termasuk sahabat yang membawa rahmat, bila sahabat kita tersebut ikut bergembira, tertawa merayakan kesuksesan kita dalam menjalankan kemaksiatan, “Shadiquka man abkaka laa man adh-hakaka” (Temanmu adalah yang membuatmu menangis -karena nasehat- bukan yang membuatmu tertawa -disebabkan lelucon-).


Akhirnya, kita berdo'a kepada Allah, semoga Dia senantiasa mempertemukan kita dengan para sahabat, yang mereka senantiasa mengajak kita mendekatkan diri kepada Allah, sehingga persahabatan kita pun dinaungi rahmat-Nya, yang kemudian menghantarkan kita termasuk orang-orang yang mendapatkan naungan pada hari dimana tidak ada naungan, selain naungan-Nya. [
Robin S/hidayatullah.com]

Friday, July 23, 2010

Renungan Anak-Anak Kereta


Anak adalah investasi, adalah ladang amal. Segala yang terbentuk padanya adalah tanggung jawab pendidiknya. Jika bentukannya baik, baik pula hasil yang akan kembali untuk pendidik itu. Begitu pun sebaliknya.

Di siang yang gerah itu, di dalam sebuah kereta rel listrik kelas ekonomi tujuan Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, seorang bocah berusia sekitar tiga tahun sedang merengek ke bapaknya. Mungkin dia kepanasan, sementara kereta masih berhenti dan tak kunjung jalan lagi. Bapaknya saat itu hanya berkata, “Keretanya masih macet, bannya kempes, masih dipompa dulu.” Bocah itu memang sempat diam, sambil melongok ke luar, mungkin mencari ban kempes yang dimaksud bapaknya. Dia ternyata percaya betul ucapan bapaknya.

Dalam kesempatan berikutnya, muncul bocah-bocah lain dengan kejanggalan yang berbeda. Agak berbeda dengan bocah yang dipangku oleh bapaknya tadi, bocah-bocah lain itu lebih dewasa, mungkin umurnya sudah sekitar 11 tahun, jauh lebih dekil, tanpa alas kaki, rambut merah karena dicat, kulit legam, baju pun sepertinya sudah berbulan-bulan tak pernah diganti atau dicuci. Dari mereka itu ada yang hanya menengadahkan tangan, ada yang menyapu lantai kereta, ada yang menyemprotkan parfum tak jelas ke bawah bangku penumpang, ada juga yang hanya duduk-duduk di bawah.

Orang biasa yang menjalani hidup normal—tiap hari tidur di kasur rumah, membaca koran atau berinteraksi dengan banyak orang tentang segala sesuatu yang menambah ilmu—bisa jadi ada yang merasa risih dan tak akan mau berlama-lama melihat bocah-bocah yang tak sedap dipandang itu. Ada pula yang merasa iba, sekaligus tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, ada juga yang memilih merem setiap mereka mendekat lalu melek lagi setelah mereka berpindah tempat.

Orang-orang atau penumpang-penumpang itu bisa seperti itu karena mereka punya banyak pilihan. Mau cuek, iba, atau risih, sah saja. Nah, bagaimana dengan anak-anak itu? Mereka tidak punya banyak pilihan. Mereka harus menembus bising dan sumpek kereta kalau mau dapat uang alias recehan. Lalu, apakah bocah-bocah itu juga peduli dengan kerisihan dan ketidakacuhan penumpang yang dia mintai uang? Tidak. Mereka tak peduli. Yang penting mereka dapat uang—entah untuk beli rokok, nge-cat rambut, atau disetor ke preman. Yang penting mereka merasa bebas, bisa tertawa senang dengan sesamanya. Mereka pun tak peduli walau sering kali harus tidur di anak tangga stasiun.

Sesuai Contoh

Anak-anak tumbuh mengikuti apa yang dilihat, didengar, dialaminya, termasuk bocah-bocah di kereta tadi. Di usia yang masih begitu dini, mereka sudah harus menyelami kehidupan yang begitu keras. Bayangkan, beda keadaan mereka dengan anak-anak lain, anak-anak gedongan yang dileskan ke sana ke mari, sampai yang oleh orang tuanya sudah dipegangi Blackberry. Bagaimana bocah-bocah yang lebih malang itu dibiarkan hidup di jalanan?

Sekali lagi, anak belajar dari contoh. Anak-anak kereta yang memiliki watak keras dan menguasai kosakata yang umumnya kasar tadi tak akan demikian jika tak mendapat contoh tersebut dari lingkungannya. Kalau mereka tidak mendapat contoh yang selayaknya, sampai mana kita bisa berharap bahwa mereka akan terbentuk sebaik-baiknya?

Kalau merujuk pada undang-undang, keadaan demikian bisa dikatakan mengandung pelanggaran atas hak-hak anak. Undang-undang Nomor 4 tahun 1979, misalnya. Di sini dimuat bahwa sesungguhnya anak-anak memiliki hak untuk merasakan hidup sejahtera. Pasal 2 ayat (1) sampai (4) undang-undang ini berbunyi sebagai berikut:

(1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
(2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.
(3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
(4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

Mana di antara hak-hak itu yang sudah didapat oleh anak-anak kereta itu?


Pendidikan

Mengacu pada bunyi tersebut, rasanya masih jauh jarak antara yang dicita-citakan dengan yang nyata di lapangan, yang salah satu contoh kecilnya adalah yang nyata-nyata dijalani oleh anak-anak kereta tadi. Mungkin, definisi sejahtera bagi mereka tak perlu tinggi-tinggi. Bukan tinggal di rumah mewah ber-AC dengan fasilitas games lengkap. Bukan juga punya punya gadgets canggih dalam jumlah banyak.

Mereka butuh jaminan untuk menjalani kehidupan wajar seperti layaknya anak-anak seusianya. Mereka butuh jaminan bahwa tidak hanya anak-anak dari keluarga mampu yang diperhatikan oleh negara, tetapi mereka juga mendapat perlakuan yang sama rata. Dan yang paling penting, mereka butuh keyakinan bahwa mereka perlu pendidikan, pun sebaliknya, pendidikan merupakan sesuatu yang mereka perlukan. Pendidikanlah, sesuai kata Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina Jakarta, yang menjadi ekskalator taraf kehidupan. Pendidikan yang bisa membuat generasi level menengah di hari ini akan terangkat ke level lebih atas di hari mendatang. Tanggung jawab siapa? Tentunya semuanya, segenap elemen masyarakat.

Pada akhirnya, sebuah solusi tegas tidak akan menjadi penutup tulisan ini. Hanya bermaksud untuk mengajak merenungkan, tentang kehidupan anak-anak kereta, tentang kesamaan hak mereka dengan hak anak-anak lainnya, hingga tentang anak-anak yang punya hak untuk hidup tenteram. Mungkin, juga mengimbau, bujuklah anak-anak dengan sesuatu yang jujur, bukan dengan kebohongan semacam “Keretanya masih macet, bannya kempes.” Sederhana mungkin, tapi dihindari juga mungkin, kan?

Kini, selamat Hari Anak Nasional 2010. Mari jadikan ini titik untuk lebih bersemangat lagi, menjadikan anak Indonesia—seluruhnya dan seutuhnya—generasi yang jujur, berakhlak mulia, sehat, cerdas, dan berprestasi. Semoga. (AGT)